NEW YORK (voa-islam.com) - Sungguh sangat luar biasa Presiden SBY
mendaptkan penghargaan dari sebuah lembaga yang didirikan oleh Rabbi
Schneier. Di mana, pada 30 Mei 2013 Appeal of Conscience (ACF) New York,
AS, memberikan Penghargaan Negarawan Dunia (World Stateman Award/WSA)
kepada Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden RI.
Alasan penganugrahan penghargaan ini ialah “Sebagai Presiden yang
pertama kali dipilih secara langsung di negara penduduk muslim terbanyak
di dunia. Ia juga terkenal dengan upaya-upayanya menciptakan perdamaian
dan menolong Indonesia berkembang menjadi masyarakat demokratis dan
menjadi dan membatasi gerak kaum ekkstrimis.
ini merupakan pengakuan atas prestasinya di kancah internasional dalam
menciptakan perdamaian dan sebagai motivasi untuk memajukan HAM,
kebebasan beragama, dan kerjasama antar agama, yang menjadi tujuan utama
ACF di seluruh dunia”.
Negarawan lain pernah mendapatkan penghargaan ACF ialah Stephen Harper,
Perdana Menteri Kanada (2012), Lee Myung-bak, Presiden Republik Korea
(2011), Gordon Brown, Perdana Menteri Inggris (2008), dan Nicolas
Sarkozy, Presiden Perancis (2008).
ACF didirikan Rabbi Arthur Schneier pada 1965, bergerak dalam bidang
HAM, kebebasan dan kerukunan antarumat beragama, menggagas kerjasama
antarpimpinan umat beragama, penguasa, dan pengusaha di dalam
mempromosikan perdamaian, toleransi, dan resolusi berbagai konflik yang
terjadi di berbagai belahan bumi.
ACF dalam misinya meyakinkan bahwa kebebasan, demokrasi, dan HAM adalah
nilai-nilai dasar yang mengilhami berbagai bangsa dan negara untuk
mencapai kehidupan yang damai, sejahtera, dan bermartabat. Menurut ACF,
‘tindakan kriminal atas nama agama merupakan bentuk kejahatan paling
bertentangan dengan agama’ (a crime committed in the name of religion is
the greatest crime against religion).
Perjuangan hak asasi manusia dan toleransi sesuatu yang harus
diperjuangkan terus menerus dan itu dapat dilakukan melalui usaha dialog
terbuka dan pengertian saling mendalam antara satu sama lain.
Pasca-kejadian 11 September, ACF mengunggulkan sejumlah tokoh yang
dinilai berjasa meredam kekerasan dan terorisme dan menggalang toleransi
dan perdamaian.
ACF mengutus delegasinya kepada tidak kurang dari 30 negara, berjumpa
dengan tokoh-tokoh agama dan pemerintah setempat. Di antara
negara-negara tersebut ialah Albania, Argentina, Armenia, Bulgaria, RRC,
Cuba, Republim Czech, El Salvador, Jerman, Hungaria, India, Indonesia,
Irlandia, Jepang, Marocco, Panama, Polandia, Romania, Rusia, Republik
Slovakia, Switzerland, Spanyol, Turki, Ukraina, Inggris, dan
negara-negara bekas Yugoslavia. Tentu saja kunjungan delegasi ACF dengan
standard kerja professional yang mereka miliki.
Rabbi Arthur Schneier, pendiri dan sekaligus Presiden ACF mempunyai
reputasi internasional dan dikenal luas sebagai tokoh kawakan interfaith
dialog. Ia banyak terlibat langsung memperjuangkan kebebasan beragama
dan HAM khususnya di Cina, Rusia, Eropa tengah dan negara-negara Balkan.
Ia dilahirkan di Vienna, Austria, 20 Maret 1930, pernah hidup di bawah
pendudukan Nazi Budapest selama Perang Dunia II, kemudian ia hijrah ke
AS pada 1947. Tahun lalu sebuah Polling memasukkan namanya salah seorang
di antara 100 tokoh berpengaruh di AS. Posisi Rabbi Arthur Schneier
lebih tinggi pengaruhnya daripada Presiden Obama di polling itu.
Ia pernah ditunjuk Presiden Clinton menjadi satu di antara tokoh agama
yang menjadi penasehatnya, terutama menjadi counter part dialog
interfaith dengan Presiden RRC dan pemimpin Cina lainnya. Ia yang
menggagas sebuah resolusi tentang perlindungan agama-agama di PBB
(Resolution for the Protection of Religious Sites) dan diterima pada
2001.
Ia termasuk tokoh Yahudi yang moderat, karena itu ia diminta menjadi
anggota Delegasi AS di dalam The Stockholm International Forum for the
Prevention of Genocide, Swedia (200). Ia berkali-kali dimintai jasanya
menjadi delegasi PBB dalam urusan perdamaian dunia. Reputasi
intelektualnya juga tidak diragukan, karena ia telah mendapatkan
penghargaan dan Doktor Honoris Causa dari beberapa Universitas besar.
Pendiri dan sekaligus Presiden ACF beranggotakan tidak kurang dari 40
orang tokoh dari berbagai agama yang dikenal luas dalam dunia
internasional, antara lain Muhtar Kent dan Imam Yahya Hendi yang
sehari-hari sebagai Professor Islamic Studies di Georgetown University,
yang Desember 2012 datang ke Indonesia bersama lima Rabbi, empat
pendeta, dua pastor, dua muslim termasuk dirinya.
Nama-nama besar lainnya seperti Cardinal Theodore E. McCarrick, Wakil
Presiden ACF, di AS pernah menjadi Uskup Agung di Washington, Pastor
Joseph A. O'Hare, S.J, juga Wakil Presiden ACF, mantan Presiden Jesuit
Fordham University, Cardinal Dr. Christoph Schnborn (Uskup Agung Wina
dan pernah diunggulkan menjadi Paus dan juga pernah mengunjungi
Indonesia, dan Pastor Daniel L. Flaherty, S.J, yang memimpin America
Magazine, majalah Rpmoromo Yesuit Amerika yang disegani para pejabat
public di AS.
Nama-nama besar berikut reputasi internasional mereka tidak mungkin
dipertaruhkan dengan memberikan penghargaan kepada orang-orang yang
tidak tepat.ACF juga bukan lembaga baru kemarin tetapi sudah berkipra
secara profesional selama 48 tahun.
Perlu diketahui bahwa biasanya hadiah atau penghargaan Internasional,
seperti halnya Hadiah Nobel dan lain-lain, bukan semata-mata karena
pribadi atau institusi tetapi boleh jadi kombinasi antara keduanya. ACF
tidak hanya melihat adanya tokoh berpengaruh di balik penurunan drastis
sebuah bencana kemanusiaan tetapi juga merupakan motivasi dan insentif
untuk lebih aktif terus meningkatkan perbaikan kualitas dan taraf hidup
kemanusiaan di masa depan.
Penganugrahan ACF Award kepada Pak SBY, baik sebagai pribadi maupun
sebagai Presuden, sebaiknya kita mengambil beberapa hikmahnya.Pertama,
kita dapat mengapresiasi secara positif penghargaan ini sebagai prestasi
kolektif anak bangsa Indonesia. Karena prestasi sosial itu biasanya
tidak berdiri sendiri melainkan akumulasi prestasi yang melibatkan
banyak unsur di dalamnnya, termasuk keringat Romo Magnis Suzeno yang
juga kita kenal sebagai salah satu icon interfaith dialog di Indonesia.
Kedua, kalaulah itu mungkin Award itu kurang atau tidak layak diterima,
mengingat masih adanya bengkalai problem yang belum sempat terselesaikan
semuanya, seperti yang diakui sendiri oleh Pak SBY selaku pemerintah,
masih ada sejumlah titik krusial sebagaimana ditunjukkan Romo Magnis
dalam suratnya, justru penerimaan Award ini diharapkan menjadi motivasi
dan mrndorong keberanian untuk menuntaskan bengkalai problem tersebut.
Kita bisa membenarkan sejumlah alasan kelompok yang bersikap kritis
terhadap Award ini tetapi kita juga harus obyektif melihat bahwa Pak SBY
sendiri tidak penah mengharapkan Award ini, bahkan memimpikan pun juga
mungkin tidak. Lagi pula, Award ini tidak akan memberikan banyak efek
pada dirinya karena sekarang sudah berada pada masa akhir dalam
periodenya yang kedua. Tentu Pak SBY tidak hanya melihat berapa usulan
yang menolak tetapi juga harus adil melihat berapa komponen masyarakat
yang merasa punya hak untuk menyetujui usulan itu.
Soal dugaan adanya diskriminasi terhadap kelompok minoritas yang diukur
melalui kesulitan membangun rumah ibadah, justru boleh jadi menunjukkan
kebalikannya. Menurut data dari Litbang Kementerian Agama, jumlah
masjid/mushalah yang terhalang pembangunannya di NTT, Papua,Bali, dan
DKI Jakarta jauh lebih banyak jumlahnya dari pada gereja atau rumah
ibadah lainnya.
Dasar penolakan tersebut sesungguhnya bukan dipicu konflik antar umat
beragama tetapi karena IMB dari Pemda setempat. Statistik menunjukkan
bahwa pertumbuhan jumlah masjid/mushallah dari tahun ketahun jauh lebih
kecil di banding rumah-rumah ibadah lain. Data Litbang Kemenag
menunjukkan pertumbuhan rumah ibadah selama 27 tahun terakhir yang
didata: Mesjid/mushalah (64,22%), Gereja Kristen (131,30%), Gereja
Katolik 152,00%), Wihara Budha (268,09%), dan Pura Hindu (475,25%).
Sekecil apapun populasi sebuah agama, seperti Kong Hu Cu, tetap
mendapatkan hari libur nasional dan Kepala Negara selalu hadir di dalam
acara-acara besarnya. Ini mungkin yang tidak bisa ditemukan di negara
manapun.
Memang tidak salah Rabbi Scheier memberikan penghargaan kepada Presiden
SBY, dan sama halnya para Rabbi di Amerika memberikan penghargaan
Presiden Abdurrahman Wahid yaitu 'Medal of Velor', atas jasa-jasanya
membangun prularisme di Indonesia. SBY memberikan gelar kepada
Abdurrahman Wahid sebagai 'Bapak Pluralisme'. Jadi SBY dan Abdurrahman
Wahid itu, 11 -12. (jj/dbs/voa-islam.com)
0 komentar:
Posting Komentar