Siapa
pun pasti tidak asing dengan Candi Borobudur yang merupakan peninggalan
agama Buddha terbesar yang diakui secara internasional. Namun klaim ini
dipertanyakan ketika KH. Fahmi Basya menulis buku Borobudur &
Peninggalan Nabi Sulaiman yang menyatakan teori terbaru bahwa Candi
Borobudur sesungguhnya adalah karya Nabi Sulaiman yang dibangun oleh
para jin dengan bukti-bukti yang didukung dari ayat-ayat Al-Quran. Teori
Fahmi Basya ini sebenarnya tidak bisa dikatakan sebagai teori ilmiah,
melainkan hanyalah suatu pseudoscience (ilmu pengetahuan semu). Oleh
sebab itu, tidak ada cendikiawan dan para ahli sejarah yang tertarik
membuat buku bantahan terhadap teori ini. Berangkat dari hal inilah,
Seno Panyadewa menyusun buku yang berjudul Misteri Borobudur dari
berbagai sumber literatur baik yang berbentuk media cetak maupun yang
tersedia online di Internet ini untuk membantah teori “Borodubur Adalah
Peninggalan Nabi Sulaiman” (disingkat sebagai BAPNS dalam buku ini).
Diawali dengan kutipan isi prasasti Kayumwungan yang merupakan bukti
arkeologis tak terbantahkan bahwa Borobudur didirikan oleh Dinasti
Sailendra yang beragama Buddha dari kerajaan Mataram Kuno di Jawa
Tengah, buku ini disusun dalam 7 bab yang mengkaji teori BAPNS dari segi
arkeologi, tinjauan ilmiah, ikonografi, arsitektur, dan bantahan umum
lainnya. Dari segi arkeologi misalnya, selain bukti prasasti, penulis
juga menyajikan analisis paleografis atas tulisan kuno yang terpahat
pada Candi Borobudur, bukti dari kitab-kitab kuno yang menyatakan
pembangunan Candi Borobudur, dan catatan perjalanan para bhiksu dari
Cina seperti Fa-Hien dan I-Tsing, yang semuanya dengan sangat meyakinkan
membuktikan bahwa Candi Borobudur adalah peninggalan agama Buddha
Mahayana aliran Tantrayana yang dibangun pada sekitar abad ke-8 atau
ke-9 Masehi. Teori Fahmi sendiri mengandalkan prasasti emas yang
ditemukan di situs Candi Ratu Boko (yang dianggap istana ratu negeri
Saba) sebagai bukti arkeologis BAPNS dengan mengatakan bahwa prasasti
tersebut mengandung kalimat dari ayat Al-Quran, namun sesungguhnya
prasasti tersebut berisi tulisan mantra pujian untuk Rudra (nama lain
Dewa Siwa yang dipuja dalam agama Hindu). Candi Ratu Boko sendiri adalah
miniatur vihara Abhayagiri (pusat studi agama Buddha di Sri Lanka pada
abad ke-2 SM s/d abad ke-12 M) yang didirikan pada abad ke-8 M, yang
kemudian digunakan sebagai tempat pemujaan agama Hindu ketika jatuh ke
tangan raja yang beragama Hindu Siwaistis dalam perebutan tahta pada
abad ke-9 M.
Teori BAPNS menyatakan bahwa Bobodubur dipindahkan dengan kecepatan
60.000 kali kecepatan cahaya, hal yang tidak mungkin secara ilmiah
menurut teori relativitas Einstein karena dibutuhkan sejumlah energi tak
terbatas untuk mempercepat objek dengan massa tertentu sampai mencapai
kecepatan cahaya (300.000 km/detik). Selain itu, dalam teori relativitas
khusus dikatakan jika benda bergerak lebih cepat daripada cahaya, ia
akan berpindah ke masa lampau yang akan menyalahi prinsip kausalitas di
mana “akibat” terjadi sebelum “sebab”. Dalam fiksi ilmiah, objek yang
bergerak melebihi kecepatan cahaya dapat digunakan untuk menciptakan
teleportasi dan mesin waktu, namun sampai saat ini para ilmuwan belum
berhasil menemukan objek yang demikian. Inilah salah satu bantahan dari
segi ilmiah yang dikemukakan dalam buku ini.
Tentu saja, bantahan yang paling masuk akal menurut saya adalah dari
segi ikonografi dan arsitektur Borobudur itu sendiri. Pada candi ini
ditemukan sejumlah besar patung Buddha yang merupakan simbol khas agama
Buddha dalam berbagai bentuk mudra (posisi tangan yang menyimbolkan
makna spiritual tertentu dalam agama Hindu dan Buddha). Agama Islam
justru melarang membuat patung dari makhluk-makhluk hidup karena
dianggap sebagai berhala sehingga bagaimana mungkin Nabi Sulaiman
mendirikan patung-patung tersebut? Bahkan relief-relief Candi Borobudur
menceritakan kisah-kisah dari kitab Buddhis Mahayana seperti
Karmavibhanga, Jatakamala, Lalitavistara, Avadana, dan Gandavyuha. Dari
segi arsitektur, Borobudur dibangun berdasarkan bentuk stupa (monumen
Buddhis yang berfungsi menyimpan relik atau objek peninggalan orang suci
lainnya) yang merupakan suatu visualisasi dari mandala (diagram
geometris yang menggambarkan kosmologi tempat kediaman makhluk suci
Mahayana sebagai alat visualisasi praktisi meditasi). Mandala yang
terkandung dalam Borobudur sendiri adalah gabungan dari Garbhadhatu
Mandala dan Vajradhatu Mandala yang terdapat dalam kitab Maha Vairocana
Sutra. Sebagai penutup bab tentang arsitektur, penulis juga menyajikan
teori angka yang mendukung Borobudur sebagai bangunan peninggalan agama
Buddha sebagai respon teori angka dari Fahmi Basya untuk menunjukkan
bahwa teori angka mana pun dapat dicocokkan dengan makna simbolis
Borobudur dan oleh karenanya bukan bukti yang menguatkan.
Bantahan umum lainnya disajikan dalam bab terakhir sebelum penutup buku
ini, di antaranya tentang kapan Nabi Sulaiman hidup, kemungkinan beliau
pernah menguasai Nusantara, dan letak negeri Saba sebenarnya.
Diperkirakan Nabi Sulaiman hidup kira-kira antara tahun 1200-800 SM yang
jika dikaitkan dengan pembangunan Candi Borobudur, terpaut minimal 16
abad. Jika dikatakan hal ini bisa saja terjadi dengan kekuasaan Allah
seperti yang diklaim para pendukung teori BAPNS, maka ini tidak bisa
dikatakan sebagai teori ilmiah sama sekali, melainkan pseudoscience
karena hal-hal demikian bukan ranah sains lagi. Kerajaan Nabi Sulaiman
yang diwarisi dari Nabi Daud terletak di daerah Timur Tengah dan sangat
tidak mungkin menaklukkan Nusantara yang letaknya sangat jauh secara
geografis, sedangkan negeri-negeri tetangga yang berdekatan tidak pernah
dikuasainya. Secara arkeologis telah ditemukan bukti keberadaan
kerajaan Saba di negara Yaman saat ini yang menjadi bantahan bahwa
kerajaan Saba terletak di Indonesia. Akhirnya dapat disimpulkan bahwa
teori BAPNS hanyalah “cocokologi” ayat-ayat Al-Quran yang dikaitkan
dengan sejarah pembangunan Borobudur. Hal ini justru berpotensi
menghilangkan kesakralan Al-Quran itu sendiri sebagai panduan hidup umat
Islam dengan hanya dijadikan semacam kitab primbon untuk meramal masa
depan atau menebak-nebak masa lampau.
Buku ini disajikan secara sistematis dan terstruktur sesuai dengan
kaidah penulisan buku ilmiah (kecuali ketiadaan daftar pustaka yang
menjadi referensi sumber buku ini, tetapi referensi sumber diberikan
dalam catatan-catatan kaki), namun ia tetap membumi dengan bahasa yang
sederhana dan mudah dipahami oleh semua kalangan pembacanya. Dengan
demikian, walaupun pembaca mungkin tidak tertarik dengan segala macam
teori tentang Borobudur, isi buku ini memberikan informasi yang patut
kita ketahui tentang sejarah, arkeologi, ikonografi, dan arsitektur
Candi Borobudur yang dirangkum secara ringkas, padat, dan jelas dari
berbagai sumber penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan
membaca buku ini para pembaca akan terbangkitkan minatnya untuk menggali
lebih dalam sejarah leluhur bangsa Indonesia pada umumnya dan
terinspirasi pada makna filosofis yang terkandung dalam Borobudur pada
khususnya.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar:
Posting Komentar