Firman Allah Azza wajalla:
ومن أعرض عن ذكري فإن له معيشة ضنكا ونحشره يوم القيامة أعمى
“Dan barangsiapa yang berpaling dari mengingatKu, maka sungguh baginya
kehidupan yang sempit dan Kami bangkitkan dia pada hari Kiamat dalam
keadaan buta.” (Thaha 124)
Siapa saja yang mengamati kehidupan masyarakat Barat, apalagi mereka
yang tinggal lama di sana dan tidak larut dalam kehidupan Barat, akan
mengetahui bahwa masyarakat tersebut sedang mengalami krisis
kemanusiaan yang berkepanjangan.
Mereka tengah berjalan menuju arah keruntuhan dan kehilangan fondasi
kemanusiaan. Itu disebabkan karena mereka tenggelam dalam arus
materialisme sebagai Tuhan baru di dunia Barat. Nilai-nilai Robbani
tercabut dari hati manusia yang tidak hidup di atas hidayah. Mereka
akhirnya hidup dalam kegelapan yang mencekam. Berjalan sebisanya, kadang
membentur ke kanan dan ke kiri. Persis seperti manusia mabuk dan
sempoyongan.
Berikut ini beberapa fenomena kehancuran kehidupan masyarakat Barat yang penting dicermati:
Anjing sahabat setia
Sudah menjadi kultur masyarakat Barat, akrab dengan hewan yang namanya
anjing. Berbagai jenis anjing mereka pelihara sesuai dengan selera
masing-masing. Sepintas lalu, orang terkagum-kagum pada masyarakat
Barat dalam soal yang satu ini. Mereka menilai bahwa ini merupakan
kemajuan masyarakat Barat yang sayang kepada hewan.
Sesungguhnya, penilaian seperti ini muncul karena tidak menelusuri
jalan hidup mereka dengan dunia yang serba gemerlap dengan
materialisme. Keterikatan mereka pada anjing sudah sedemikian rupa
sampai-sampai ada yang mengatakan bahwa 'No life without dog' (tak ada
kehidupan tanpa anjing). Padahal untuk memelihara anjing di sana,
memerlukan biaya yang tak sedikit. Daging yang dikonsumsi anjing
mereka lebih mahal dari daging yang dimakan manusia.
Jika kita amati lebih mendalam, kita akan dapati bahwa keakraban
mereka dengan anjing adalah salah satu malapetaka kemanusiaan yang
dialami insan Eropa, dimana mereka sudah tak percaya lagi bersahabat
dengan manusia. Bahkan tidak percaya pada anak sendiri.
Mereka merasa lebih percaya kepada anjing daripada manusia. Mereka
lebih mau memelihara anjing dan hidup bersama anjing daripada hidup
serumah dengan anak atau suami. Jadi memelihara anjing adalah pelarian
alias frustrasi pada manusia.
Kenapa? Karena dari pengalaman hidupnya, mereka merasakan hidup
bersama dengan manusia, hanya menimbulkan banyak persoalan yang tidak
sederhana, baik dengan pasangan hidup maupun anak keturunan sendiri.
Yang didapat bukan ketenangan, justru kesengsaraan. Inilah krisis
kemanusiaan di Barat.
Berapa banyak orang-orang berusia tua tinggal bersama anjingnya di
rumah. Anjing itu betul-betul menjadi teman hidup. Bahkan dibawa tidur
bersama. Ini karena kultur di Barat, anak-anak yang sudah besar tidak
mau tinggal bersama orang tuanya. Orangtua tinggal sendiri di
rumahnya. Anak-anaknya tinggal terpisah dengan keluarganya sendiri, di
luar kota atau dalam satu kota.
Penulis sering sekali menjumpai nenek (kira-kira di atas 70 tahun)
yang berjalan naik kereta sendirian berkunjung ke rumah anaknya yang
tinggal di kota lain. Akibat kesepian seperti ini, orang yang sudah
berusia lanjut merasa sedih dan kesepian tinggal sendirian.
Secara materi, orang-orang tua yang sudah tidak bekerja lagi memang
mendapatkan santunan (benefit) dari negara yang cukup untuk keperluan
hidupnya. Tetapi, ada aspek lain dari hidupnya yang tak terpenuhi, yaitu
kejiwaan dan ruhiyahnya.
Sesungguhnya, batin mereka berontak. Hati mereka merindukan hidup
dengan anak dan cucunya. Namun itu tak mungkin terjadi dalam kultur
mereka. Inilah yang menyebabkan pelarian kerinduan kepada binatang
seperti anjing.
Kenapa harus anjing? Itu juga pertanyaan menarik. Karena hewan ini
memang memiliki unsur kesetiakawanan yang baik dengan tuannya. Jadi, si
nenek tadi mencurahkan kasih sayangnya kepada anjing, karena ia tidak
dapat mencurahkannya kepada manusia, sekalipun itu anak atau cucunya
sendiri.
Ada yang lebih parah dari itu, anak menitipkan orangtuanya di Panti
jompo, bersama orang-orang tua lanjut usia lainnya. Panti ini dibayar
dan di sana ada pegawai yang bekerja melayani dan menjaga mereka. Kalau
di antara mereka ada yang mau ke toilet, ada yang menuntun. Kalau mau
mandi, ada yang memandikan. Kalau ingin sesuatu, ada yang
melayaninya. Tetapi apakah dengan begini, batin mereka terpuaskan?
Tidak. Jelas tidak.
Program di Panti itu, ialah senam dan musik yang sesungguhnya bukan
membantu menenangkan jiwa, tetapi justru menambah keruh pikiran mereka.
Apa yang mereka butuhkan, tidak sesuai dengan apa yang mereka
dapatkan.
Kadang pikiran kita bertanya-tanya, kenapa begitu teganya seorang anak menitipkan orangtuanya di Panti jompo?
Apakah ia tidak merasa bahwa orang tua seperti itu membutuhkan kasih sayang anak?
Sekedar kelakar, tapi ini bisa juga merupakan hakikat sebenarnya,
bahwa dulu waktu si ibu masih muda, ia punya anak atau bayi yang masih
kecil. Ia titipkan buah hati dan kesayangannya ke penitipan anak. Saat
anak masih bayi sedang merindukan kasih sayang ibu, tetapi karena
tuntutan dunia dan mengejar materi, sang ibu tega meninggalkan anaknya
di penitipan.
Apa yang terjadi setelah waktu berlalu puluhan tahun? Maka pada saat
si ibu sudah tua renta, giliran ia dititipkan oleh anaknya di Panti
Jompo. Jadi impas (seri), bukan? Na'zu billah min zalik. Sesuatu yang
harusnya tidak boleh terjadi, jika manusia berada di atas jalan
Hidayah.
Rasul Saw pernah bersabda :
من لا يرحم لا يرحم
Barangsiapa yang tidak mengasihani, ia tidak dikasihani.
Dan sabda Beliau Saw:
ارحموا من في الأرض يرحمكم من في السماء
“Sayangilah orang yang ada di bumi, niscaya kamu disayangi oleh yang ada di langit”.
Membalas kasih orang tua
Firman Allah Subhanah wata’ala:
وقضى ربك ألا تعبدوا إلا إياه وبالوالدين إحسانا إما يبلغن عندك الكبر
أحدهما أو كلاهما فلا تقل لهما أف ولا تنهرهما وقل لهما قولا كريما.
“Dan Robbmu telah menetapkan agar kamu tidak menyembah kecuali hanya
Dia, dan kepada dua orangtuamu berbuat baiklah. Jika salah seorang dari
mereka sudah lanjut usia atau kedua-duanya, maka janganlah engkau
katakan padanya ‘Ah’, dan jangan bersuara keras kepada mereka, dan
ucapkanlah perkataan yang mulia.” (Al-Isra’:23)
Berbeda total dengan pandangan hidup Barat, Islam menanamkan rasa
kasih sayang kepada anak sejak ia masih kecil. Ibu mencurahkan kasih
sayangnya kepada bayinya, dengan menyusui, mengurus dan membesarkan.
Waktu si Ibu memang dihabiskan untuk mengurus anaknya. Bahkan
penderitaan sudah dirasakan ibu sejak janin dalam kandungan.
Firman Allah Swt.
حملته أمه وهنا على وهن وفصاله في عامين.
(ia dikandung oleh ibunya dalam penderitaan demi penderitaan, dan memisahnya dalam usia dua tahun).
Ketika si ibu sudah tua, maka anaknya yang sudah dewasa gantian ingin
membalas jasa si ibu. Giliran Ibunya diurus oleh si anak. Ibu tinggal
menumpang di rumah anaknya, hidup bersama cucu-cucunya. Ketawa dan
gembira bersama mereka.
Bila sakit, ia dirawat oleh anaknya. Ketika terasa jenuh di rumah anak
yang satu, ia pindah ke anak yang lain. Ia diperlakukan sama oleh
anak dan cucunya yang lain. Ia disambut, dilayani dan diurus oleh anak
dan cucunya.
Mereka bersama-sama menghambakan dirinya kepada Allah Swt. Betapa
indahnya hidup di bawah naungan ajaran Islam. Andaikan orang di luar
Islam mengetahuinya, niscaya mereka akan cemburu pada ajaran mulia ini.
Manusia diciptakan Allah sebagai makhluk mulia, seharusnya menjadi
sahabat dan teman untuk menjalankan hidup sesama komunitas manusia,
saling membantu, menolong, saling bertukar pikiran, bahkan saling
menunjang untuk mencapai tujuan hidup mengabdi kepada Allah Robbul
alamin.
Manusia seharusnya mencari temannya sesama manusia, bukan saling menjauhi.
Di masyarakat barat, anjing diperlakukan seperti manusia, layaknya
teman, diajak bicara, diperintah, dititipi pesan, dan seterusnya.
Mereka mengasuhnya seperti mengasuh anak, dimandikan, dikasih makanan.
Bahkan, daging yang dimakan anjing, tidak sembarangan. Ada standar
khusus, harganya lebih mahal dari harga daging biasa yang dikonsumsi
manusia.
Anjing harus dibawa berjalan keluar rumah sampai 3 kali sehari. Jika
tidak, ia mengalami stress. Anjing dimandikan, dibawa tidur,
mendampingi tuannya terus menerus, hingga dibawa piknik, naik mobil,
kereta, dan tiketnya dibelikan khusus, dihitung sebagai penumpang.
Ini semua merupakan fenomena kehancuran kemanusiaan di Barat. Manusia
tidak percaya lagi kepada anaknya, dia lebih suka membesarkan dan
merawat anjing dari merawat anaknya. Ini juga merupakan bukti bahwa
manusia membutuhkan makhluk yang hidup bersama dengannya. Ketika makhluk
itu tidak didapatkan dari jenis manusia, anjing pun tak mengapa
sebagai penggantinya. La hawla wala quwwata illa billah.
Gereja kosong
Fenomena lain yang tak kalah mengherankan di barat ialah kosongnya
tempat ibadah (gereja). Gereja hanya dikunjungi untuk tiga acara,
pertama kelahiran anak, kedua ketika seseorang menikah, dan yang
terakhir, ketika ada yang meninggal. Selain itu mereka tidak lagi
datang ke gereja.
Gereja mirip museum, tempat peninggalan benda-benda tua bersejarah.
Yang datang ke gereja, jikapun ada, hanyalah kakek-kakek dan
nenek-nenek tua bertongkat dan jalan terpapah-papah.
Ini menunjukkan insan barat sudah meninggalkan agamanya secara massal.
Jika kalangan mudanya ditanya, “What is your religion?” (apakah agama
Anda?). Mereka menjawab : 'football’ (bola kaki).
Mereka meninggalkan gereja, karena agamanya dirasakan tidak memberi
kepuasan bagi hidup mereka dan tidak lagi mereka butuhkan. Hal itu
seiring dengan arus materialisme yang semakin deras di barat, arus
hedonisme yang makin kencang.
Manusia disibukkan dengan kegiatan mengejar uang dan memburu materi
untuk kesenangan hidup atau untuk memenuhi kebutuhan hidup. Semakin
banyak tuntutan hidup yang dibutuhkan, semakin menuntut kerja keras
untuk membayar kebutuhan itu. Mulai dari sewa rumah yang sangat tinggi,
misalnya di London, kawasan pinggiran saja besarnya sewa rumah
sekitar £1000 sebulan.
Begitu pun dengan kebutuhan transport, makanan, pakaian, perhiasan,
pendidikan, piknik, dst, menyebabkan manusia harus habis-habisan
berjuang mendapatkan pembayar kebutuhan hidup itu.
Lain lagi kesenangan syahwat dan hawa nafsu yang semakin menyebabkan
mereka meninggalkan agamanya. Karena mahalnya living cost di
negara-negara barat, sehingga mendorong mereka untuk hidup dengan
pasangannya tanpa ikatan pernikahan.
Menurut mereka, nikah mememunculkan tuntutan-tuntutan dan kewajiban.
Sementara, mereka tidak ingin diikat dengan kewajiban, namun hawa
nafsunya terlampiaskan dengan lawan jenis yang berpandangan serupa.
Akhirnya mereka menemukan pasangan hidup yang sejalan dengan pola
pikirnya, lalu merekapun hidup serumah tanpa ikatan pernikahan. Saling
memuaskan dan tidak saling memberatkan.
Kekeluargaan yang rapuh
Sungguh memilukan, ikatan kekeluargaan di barat sangat rapuh.
Perceraian gampang terjadi. Salah satu yang mendorong mereka untuk
hidup kumpul kebo, adalah rapuhnya kehidupan berumah tangga. Jika
terjadi perselisihan di antara satu pasangan lelaki dan perempuan,
maka mereka dengan mudah saja bubar. Lelaki pergi ke utara dan
perempuannya ke selatan. Tinggal angkat koper saja.
Adapun jika mereka menikah secara resmi dengan perjanjian yang
disahkan oleh negara, maka ketika terjadi perpecahan, harta yang mereka
cari akan dibagi dua, seperti rumah, kendaraan dan lain sebagainya.
Urusannya juga tak gampang, berhubungan dengan pengadilan dan
seterusnya.
Bahkan mereka yang resmi menikahpun, sering melakukan perjanjian
tertulis, tentang jumlah anak yang disepakati. Bahkan, ada juga yang
sama-sama berjanji untuk tidak punya anak. Jadi secara umum, kultur
masyarakat barat masa sekarang ini cenderung tidak menginginkan anak.
Kalaupun mau, sangat mereka batasi, cukup satu atau maksimal dua.
Pikiran mereka ini didasarkan pada ideologi pragmatis dan
individualis. Dengan punya anak, seseorang akan merasa direpotkan.
Mulai anak itu dalam kandungan, ketika lahir, kemudian membesarkannya,
menyekolahkannya, sampai anak tersebut beranjak dewasa.
Mereka menganggap kehidupan seperti itu sungguh merepotkan. Sementara
mereka tidak mau repot. Merasa enjoy hidup sendiri. Memasak untuk
sendiri, bekerja untuk dinikmati sendiri, lapar tanggung sendiri.
Kalaupun mereka punya pasangan, pasangan itupun memiliki visi serupa
juga.
Demikianlah mereka hidup. Bandingkan dengan Islam yang memandang
pernikahan sebagai sarana meraih ketenangan, damai dan kemesraan.
Firman Allah Swt:
ومن آياته أن خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا إليها وجعل بينكم مودة ورحمة إن في ذلك لآيات لقوم يتفكرون.
“Di antara tanda-tanda kebesaranNya, Ia menjadikan untuk kamu dari
dirimu pasangan agar kamu mendapatkan ketenangan darinya. Dan Ia
menjadikan di antara kamu kasih sayang dan belas kasihan. Sesunggunya
dalam demikian itu terdapat ayat bagi kaum yang berpikir.” (Ar-Ruum:
21)
Lalu pada masa yang akan datang, akan tiba waktunya kepunahan populasi
orang Eropa. Sebab mereka yang hidup sekarang, tidak diteruskan oleh
generasi penggantinya. Alhamdulillah, alladzi hadana ilal Islaam.
(Segala puji bagi Allah yang menunjuki kita hidup di dalam Islam).
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar:
Posting Komentar