Akhir Hayat 5 Tokoh PKI Yang Di-Skak Mat


Tokoh komunis Indonesia ini sudah di SKAK MAT!

Mereka dikenal sebagai petinggi atau tokoh Partai Komunis Indonesia. Sejarah mencatat nama mereka dengan tinta hitam karena berbeda ideologi dengan pemerintah yang sah.

Dua kali pemberontakan komunis berakhir dengan kegagalan. Tahun 1948 di Madiun pemberontakan komunis langsung dihancurkan pasukan gabungan tentara Soekarno. Percobaan pemberontakan tahun 1965 pun kembali menemui kegagalan. Kali ini bahkan lebih tragis, jutaan kader dan anggota PKI ditumpas habis Jenderal Soeharto.

Maka nasib para petinggi partai merah ini pun hampir selalu bernasib tragis. Semuanya meregang nyawa ditembus peluru. Beberapa tak diketahui kuburnya.
Tak ada penghormatan untuk jenazah mereka, karena dieksekusi sebagai pemberontak. Pemerintah yang menang menembak mereka sebagai orang taklukan yang kalah.

1. Muso, anak seorang KH Hasan Muhyi alias Rono Wijoyo, seorang pelarian pasukan Diponegoro

Negara Republik Soviet Indonesia yang diproklamirkan tokoh komunis Muso di Madiun tak berumur panjang. Negara yang didirikan tanggal 18 September 1948 itu langsung dihancurkan pasukan TNI yang menyerang dari Timur dan Barat. Dalam waktu dua minggu, kekuatan bersenjata tentara Muso dihancurkan pasukan TNI.Muso, Amir Syarifuddin dan pimpinan PKI Madiun melarikan diri. Di tengah jalan, Amir dan Muso berbeda pendapat. Muso melanjutkan perjalanan hanya ditemani beberapa pengawal.Tanggal 31 Oktober, pasukan TNI di bawah pimpinan Kapten Sumadi memergoki Muso di Purworejo. Muso menolak menyerah dan melarikan diri. Dia bersembunyi di sebuah kamar mandi. Di sana dia terlibat baku tembak hingga tewas.

Beberapa sumber menyebutkan jenazah Muso kemudian dibawa ke alun-alun dan dibakar.
Temuan baru muncul mengungkap siapa sebenarnya Musso atau Munawar Musso alias Paul Mussote (nama ini tertulis dalam novel fiksi Pacar Merah Indonesia karya Matu Mona), tokoh komunis Indonesia yang memimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) pada era 1920-an. Nama Musso terus berkibar hingga pemberontakan Madiun 1948.

Musso dilahirkan di Kediri, Jawa Timur 1897. Sering disebut-sebut, Musso adalah anak dari Mas Martoredjo, pegawai kantoran di Kediri. Penelusuran merdeka.com mengungkap cerita lain, bahwa Musso ternyata putra seorang kiai besar di daerah Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Kiai besar itu adalah KH Hasan Muhyi alias Rono Wijoyo, seorang pelarian pasukan Diponegoro.
Kabar bahwa Musso diragukan sebagai anak Mas Martoredjo muncul dari informasi awal Ning Neyla Muna (28), keluarga Ponpes Kapurejo, Pagu, Kediri yang menyebut Musso itu adalah keluarga mereka.
Sulit untuk dipercayai, jika Musso anak pegawai kantoran biasa di desa, bisa menjadi pengikut Stalin dan fasih berbahasa Rusia. Bahkan untuk berteman dengan Stalin dan bisa melakukan aktivitasnya yang menjelajah antarnegara hanya bisa dilakukan oleh orang-orang kaya di masa itu.
Kalau bukan anak orang berpengaruh, sulit pula baginya menjadi pengurus Sarekat Islam pimpinan H.O.S Tjokroaminoto. Selain di Sarekat Islam, Musso juga aktif di ISDV (Indische Sociaal-Democratishce Vereeniging atau Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda).
Saat di Surabaya Musso pernah kos di Jl. Peneleh VII No. 29-31 rumah milik HOS Tjokroaminoto, guru sekaligus bapak kosnya. Selain Musso di rumah kos itu juga ada Soekarno, Alimin, Semaun, dan Kartosuwiryo.
Musso, Alimin, dan Semaun dikenal sebagai tokoh kiri Indonesia. Sedangkan nama yang terakhir, menjelma menjadi tokoh Darul Islam, ekstrem kanan. Mereka dicatat dalam sejarah perjalanan revolusi di Indonesia.
Saat kos itu, Musso menjadi salah seorang sumber ilmu Bung Karno dalam setiap percakapan. Seperti misalnya saat Musso menyoal penjajahan Belanda, "Penjajahan ini membuat kita menjadi bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa."
Merdeka.com menemui KH Mohammad Hamdan Ibiq, pengasuh Ponpes Kapurejo, Pagu Kediri untuk bertanya tentang siapa Musso. "Saya hanya mengetahui Musso memang keluarga besar Ponpes Kapurejo, namun yang paham itu adalah KH Muqtafa, paman kami. Yang saya pahami Musso itu anak gawan (bawaan), jadi saat KH Hasan Muhyi menikahi Nyai Juru, Nyai Juru sudah memiliki putra salah satunya Musso. Makam keduanya berada di komplek Pondok Pesantren Kapurejo," kata Gus Ibiq paggilan akrab KH Hamdan Ibiq, akhir bulan lalu.
Penelusuran dilanjutkan ke rumah KH Muqtafa di Desa Mukuh, Kecamatan Kayen Kidul, Kabupaten Kediri. Tiba di rumah KH Muqtafa, si empunya rumah tampak sedang asyik mutholaah kitab kuning (membaca dan memahami kitab kuning) tepat di depan pintu rumahnya.
Setelah mengucapkan salam dan dijawab, kemudian Kyai Tafa mempersilakan masuk. Rumah lelaki pensiunan pegawai Departemen Agama ini tampak asri, tembok warna putih dan ada bagian gebyog kayu jati yang menandakan pemiliknya orang lama. Ditambah beberapa hiasan kaligrafi Arab yang ditulis dengan indah menempel di antara dinding rumahnya. Selanjutnya Kiai Tafa masuk ke rumah induk dan berganti pakaian yang semata-mata dia lakukan untuk menghormati tamunya.
Lima menit berlalu, Kiai Tafa keluar dan menanyakan maksud kedatangan. Sebelumnya lelaki yang sudah tampak uzur ini menyatakan meski keturunan keluarga pesantren, dia tak memiliki santri. Sebab dia harus menjadi pegawai negeri dan berpindah-pindah tempat.
"Mau bagaimana lagi memang harus seperti itu," kata Kiai Tafa membuka perbincangan.
Setelah mengutarakan maksud dan tujuan untuk mengetahui sejarah Ponpes Kapurejo, kemudian penuh semangat, Kiai Tafa menjelaskan secara gamblang dengan suara yang sangat berwibawa.
Belum membuka pembicaraan tentang Musso, merdeka.com hanya ingin mengetahui arah pembicaraannya seperti yang disampaikan Gus Ibiq, bahwa Kyai Tafa lah yang menjadi kunci silsilah keluarga Pondok Pesantren, Kapurejo.
"KH Hasan Muhyi itu orang Mataram, sebenarnya namanya adalah Rono Wijoyo. Beliaulah pendiri Pondok Pesantren Kapurejo. Beliau menikah sebanyak tiga kali, istri pertamanya adalah Nyai Juru. Dari pernikahannya yang pertama itu KH Hasan Muhyi diberikan 12 putra. Dan maaf salah satunya mungkin orang mengenal dengan nama Musso," ujar Kiai Tafa yang sedikit canggung ketika menyebut nama Musso.
Meski canggung, Kiai Tafa kembali menegaskan itulah fakta sejarah. "Mau bagaimana lagi itulah fakta sejarah," tukasnya.

2. Amir Syarifuddin, Menteri Yang Selingkuhi NASAKOM

Amir Syarifuddin pernah menempati sejumlah posisi penting saat Indonesia baru merdeka. Dia pernah menjadi Menteri Penerangan, Menteri Pertahanan, bahkan Perdama Menteri Republik Indonesia. Tapi hasil perjanjian Renville memutar nasib Amir 180 derajat.Saat itu Amir menjadi negosiator utama RI dalam perjanjian itu. Isi perjanjian Renville memang tak menguntungkan RI. Belanda hanya mengakui Yogyakarta,  Jawa Tengah dan Sumatera. Maka Amir dikecam kiri-kanan. Kabinetnya jatuh. Dia kemudian bergabung dengan Muso dalam Negara Republik Soviet Indonesia di Madiun tanggal 19 September 1948.Saat pemberontakan Madiun dihancurkan TNI, Amir melarikan diri. Dia akhirnya ditangkap TNI di hutan kawasan Purwodadi. Tanggal 19 Desember 1948, bersamaan dengan Agresri Militer II, Amir ditembak mati bersama para pemberontak Madiun yang tertangkap. Eksekusi dilakukan dengan buru-buru.

Sebelum meninggal Amir menyanyikan lagu internationale, yang merupakan lagu komunis. Amir juga sempat menyanyikan lagu Indonesia Raya. Peluru seorang polisi militer mengakhiri hidupnya.

3. Dipa Nusantara Aidit, Akhiri Hidup Dengan Berondongan AK-47

Dipa Nusantara (DN) Aidit langsung melarikan diri dari Jakarta saat Gerakan 30 September 1965 gagal. Aidit lari ke daerah basis PKI di Yogyakarta. Aidit lalu berkeliling ke Semarang dan Solo. Dia masih sempat menemui beberapa pengurus PKI di daerah untuk melakukan koordinasi.Tanggal 22 November 1965, Aidit ditangkap pasukan Brigade Infantri IV Kostrad di kampung dekat Stasiun Solo Balapan. Aidit bersembunyi dalam sebuah ruangan yang ditutup lemari. Kepada Komandan Brigif IV, Kolonel Jasir Hadibroto, Aidit minta dipertemukan dengan Soekarno. Aidit mengaku sudah membuat pengakuan tertulis soal G30S. Dokumen itu rencananya akan diberikan pada Soekarno.

Tapi keinginan Aidit tak pernah terpenuhi. Keesokan harinya, Jasir dan pasukannya membawa Aidit ke sebuah sumur tua di belakang markas TNI di Boyolali. Aidit berpidato berapi-api sebelum ditembak. Berondongan AK-47 mengakhiri hidup Ketua Comite Central PKI itu. Kuburan pasti Aidit tak diketahui hingga kini.

Dipa Nusantara Aidit pada 1980-an adalah Syu'bah Asa. Seniman dan wartawan ini memerankan Ketua Umum Comite Central Partai Komunis Indonesia itu dalam film Pengkhianatan G-30-S/PKI. Setiap 30 September film itu diputar di TVRI. Lalu di depan layar kaca kita ngeri membayangkan sosoknya: lelaki penuh muslihat, dengan bibir bergetar memerintahkan pembunuhan itu.

Di tempat lain, terutama setelah Orde Baru runtuh dan orang lebih bebas berbicara, PKI didiskusikan kembali. Juga Aidit. Pikiran-pikirannya dipelajari seperti juga doktrin-doktrin Marxisme-Leninisme. Dalam sebuah diskusi di Yogyakarta, seorang penulis muda pernah di luar kepala mengutip doktrin 151--ajaran dasar bagi kaum kiri dalam berkesenian. Diam-diam komunisme dipelajari kembali dan Aidit menjadi mitos lain: sang idola.

Dia memulai "hidup" sejak belia. Putra Belitung yang lahir dengan nama Achmad Aidit itu menapaki karier politik di asrama mahasiswa Menteng 31--sarang aktivis pemuda "radikal" kala itu. Bersama Wikana dan Sukarni, ia terlibat peristiwa Rengasdengklok--penculikan Soekarno oleh pemuda setelah pemimpin revolusi itu dianggap lamban memproklamasikan kemerdekaan. Ia terlibat pemberontakan PKI di Madiun, 1948. Usianya baru 25 tahun. Setelah itu, ia raib tak tentu rimba. Sebagian orang mengatakan ia kabur ke Vietnam Utara, sedangkan yang lain mengatakan ia bolak-balik Jakarta-Medan. Dua tahun kemudian, dia "muncul" kembali.

Aidit hanya butuh waktu setahun untuk membesarkan kembali PKI. Ia mengambil alih partai itu dari komunis tua--Alimin dan Tan Ling Djie--pada 1954, dalam Pemilu 1955 partai itu sudah masuk empat pengumpul suara terbesar di Indonesia. PKI mengklaim beranggota 3,5 juta orang. Inilah partai komunis terbesar di dunia setelah Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina.

Dalam kongres partai setahun sebelum pemilu, Aidit berpidato tentang "jalan baru yang harus ditempuh untuk memenangkan revolusi." Dipa Nusantara bercita-cita menjadikan Indonesia negara komunis. Ketika partai-partai lain tertatih-tatih dalam regenerasi kader, PKI memunculkan anak-anak belia di tampuk pimpinan partai: D.N. Aidit, 31 tahun, M.H. Lukman (34), Sudisman (34), dan Njoto (27).

Tapi semuanya berakhir pada Oktober 1965, ketika Gerakan 30 September gagal dan pemimpin PKI harus mengakhiri hidup di ujung bedil. Aidit sendiri tutup buku dengan cara tragis: tentara menangkapnya di Boyolali, Jawa Tengah, dan ia tewas dalam siraman satu magazin peluru senapan Kalashnikov serdadu.

4. MH Lukman, Anak Kesayangan Proklamator RI Muhammad Hatta

Muhammad Hatta Lukman, orang kedua di Partai Komunis Indonesia setelah Aidit. Bersama Njoto dan Aidit, ketiganya dikenal sebagai triumvirat, atau tiga pemimpin PKI. MH Lukman mengikuti ayahnya yang dibuang ke Digoel, Papua. Sejak kecil dia terbiasa hidup di tengah pergerakan. Nama Muhammad Hatta diberikan karena Lukman sempat menjadi kesayangan Mohammad Hatta, proklamator RI.
 
Tapi seperti beberapa tokoh pemuda Menteng 31 pada tahun 1945, Lukman memilih komunis sebagai jalan hidup. Setelah pemberontakan Madiun 1948, triumvirat ini langsung melejit, mengambil alih kepemimpinan PKI dari para komunis tua. Di pemerintahan, Lukman sempat menjabat wakil ketua DPR-GR.Tak banyak data mengenai kematian Lukman. Saat itu beberapa hari setelah Gerakan 30 September gagal, Lukman diculik dan ditembak mati tentara. Mayat maupun kuburannya tak diketahui.

Tokoh Politbiro Comite Central PKI Sudisman di pengadilan menyebut tragedi pembunuhan Aidit, Lukman dan Njoto, sebagai ‘jalan mati’. Karena ketiganya tak diadili dan langsung ditembak mati.

5. Njoto, Orang Kepercayaan Soekarno Untuk Tulis Pidato Kenegaraan

Njoto merupakan Wakil Ketua II Comite Central PKI. Orang ketiga saat PKI menggapai masa jayanya periode 1955 hingga 1965. Njoto juga kesayangan Soekarno. Aidit sempat menganggap Njoto lebih Sukarnois daripada Komunis.Njoto menjadi menteri kabinet Dwikora, mewakili PKI. Dia salah satu orang yang dipercaya Soekarno untuk menulis pidato kenegaraan yang akan dibacakan Soekarno. Njoto seniman, pemusik, dan politikus yang cerdas.Menjelang tahun 1965, isu berhembus. Njoto diisukan berselingkuh dengan wanita Rusia. Ini yang membuat Aidit memutuskan akan memecat Njoto. Menjelang G30S, Njoto sudah tak lagi diajak rapat pimpinan tinggi PKI.

Kematian Njoto pun simpang siur. Kabarnya tanggal 16 Desember 1965, Njoto pulang mengikuti sidang kabinet di Istana Negara. Di sekitar Menteng, mobilnya dicegat. Njoto dipukul kemudian dibawa pergi tentara. Diduga dia langsung ditembak mati.

Sama dengan kedua sahabatnya, Aidit dan Lukman, kubur Njoto pun tak diketahui.

Fakta Baru Musso dan Aidit di-Skak Mat Kyai NU

Asep Dudinov AR, kompasianer menuliskan buah pikirannya. Dalam buku “Berangkat dari Pesantren” buah karya KH. Saifuddin Zuhri, ia menemukan kisah menarik ihwal Musso dan Aidit, dua gembong PKI (Partai Komunis Indonesia) yang sama sama menjadi tokoh kunci dalama dua peristiwa berbeda.
Musso tak bisa dipisahkan dengan “Madiun Affair” 1948 bahkan berakhir dengan kematian yang tragis. Soe Hok Gie dalam Orang Orang di Persimpangan Kiri Jalan menggambarkan akhir seorang Musso bahwa mayatnya dibawa ke alun alun Ponorogo dan selanjutnya…dibakar.

Sedangkan Dipa Nusantara Aidit adalah tokoh PKI di tahun tahun ketika partai itu sedang dalam puncak kejayaannya. Perselingkuhan kaum komunis dengan golongan nasionalis dan agama membawa PKI berada di atas angin di tahun 1960-an. Nasib buruk lantas meninju PKI pada tahun 1965 karena dituduh menjadi dalang dari terbunuhnya tujuh pahlawan revolusi.

Siapa menduga, Musso yang dikenal Soekarno sebagai orang yang jago pencak dan suka berkelahi ini pernah takluk oleh seorang kyai NU (Nahdlatul Ulama) bernama Haji Hasan Gipo.
Beginilah kisahnya yang saya ringkas dari “Berangkat dari Pesantren.”

Suatu ketika, Musso terlibat perdebatan dengan KH. Abdul Wahab Hasbullah mengenai adanya Tuhan. Sebagai seorang atheis, Musso tentu saja tak percaya pada Tuhan. Perdebatan pun makin seru dan menjurus kasar karena Musso memang seorang yang emosional.

Musso yang berbadan tegap melawan kiai Wahab yang pendek lagi kecil, orang orang yang melihat perdebatan pun makin was was takut terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Kiai Wahab pun lalu berpikir bahwa tak ada gunanya juga melanjutkan diskusi dengan “orang jahil” semacam Musso ini.

Bukan karena Kiai Wahab takut, untuk seorang Musso saja pasti bisa diselesaikan dengan mudah karena Kiai Wahab yang juga pendekar silat itu pernah menaklukan 3 atau 4 penyamun yang tubuhnya jauh lebih besar dari Musso ketika melakukan perjalanan angker antara Makkah dan Madinah sekitar tahun 1920-1925. Diskusi dengan Musso hanya mengandalkan main jotos dan mulut besar, kiai Wahab merasa buang buang tenaga saja. Senjata manusia adalah akal pikiran dan akhlak mulia, bukan kepalan tinju.

Haji Hasan Gipo (Tanfidziyah NU tahun 1926) mengambil alih tempat kiai Wahab dalam berdebat dengan Musso. Haji Hasan Gipi terkenal sebagai seorang tokoh NU yang bisa bermain menurut irama gendang. Main halus, ayo. Main kasar, oke. Singkat kata, semua cara bisa ia layani.

Dan Musso pun ditantang untuk bersama Haji Hasan Gipo menghampiri jalan kereta Surabaya-Batavia di dekat krian (antara Surabaya-Mojokerto) untuk menyambut kereta api ekspres yang sedang berlari kencang dengan batang leher masing masing. Begitu kereta api muncul dalam kecepatan tinggi, keduanya harus meletakkan leher masing masing di atas rel agar digilas lokomotif serta seluruh rangkaian kereta api hingga tubuh mereka hancur berkeping keping.

Nah, dengan jalan demikian, keduanya akan memperoleh keyakinan-ainul yaqin haqqul yakin-tentang adanya Allah Swt…! Tapi Musso yang terkenal berangasan dan mudah marah itu dengan badannya yang besar dan kekar seolah menciut saja ditantang seperti itu oleh Haji Hasan Gipo. Musso pun gentar. Ia takut setakut takutnya takut pada tantangan itu.

Sedangkan Aidit pernah kena skak mat dari KH. Saifuddin Zuhri yang pada waktu itu sedang menjabat menteri agama.

Ceritanya, dalam sidang DPA dibicarakan ihwal membasmi hawa tikus yang merusak tanaman padi di sawah, D. N Aidit dengan sengaja melancarkan pertanyaan dengan nada sindiran. Padahal, waktu itu tempat duduk KH. Saifuddin Zuhri dengan Aidit hanya berjarak 20 senti meter saja.

“Saudara ketua, baiklah kiranya ditanyakan kepada Menteri Agama yang duduk di sebelah kanan saya ini, bagaimana hukumnya menurut agama Islam memakan daging tikus?”

Saifuddin Zuhri merasa ditantang dengan sindirang beraroma penghinaan itu. Sebagai seorang tokoh partai yang pintar tentunya Aidit paham betul jawaban dari apa yang ia tanyakan tersebut. Tetapi Aidit dengan sengaja mendemonstrasikan antipatinya terhadap Islam. KH. Saifuddin Zuhri pun lantas menjawab dengan tak kalah cerdiknya.

“Saudara ketua, tolong beritahukan kepada si penanya di sebelah kiriku ini bahwa aku ini sedang berjuang agar rakyat mampu makan ayam goreng, karena itu jangan dibelokkan untuk makan daging tikus!”

Tentu saja jawaban yang diberikan KH. Saifuddin Zuhri mengundang gelak para anggota termasuk Bung Karno yang memimpin sidang DPA. Saya bisa membayangkan Aidit terdiam seribu bahasa.[mrd/dbs/voa-islam.com]
Share on Google Plus

About Unknown

0 komentar:

Posting Komentar